Powered By Blogger
05.47

Geopolitik

Pengertian Geopolitik

Geopolitik berasal dari dua kata, yaitu “geo” dan “politik”. Maka, Membicarakan pengertian geopolitik, tidak terlepas dari pembahasan mengenai masalah geografi dan politik. “Geo” artinya Bumi/Planet Bumi. Menurut Preston E. James, geografi mempersoalkan tata ruang, yaitu sistem dalam hal menempati suatu ruang di permukaan Bumi. Dengan demikian geografi bersangkut-paut dengan interrelasi antara manusia dengan lingkungan tempat hidupnya. Sedangkan politik, selalu berhubungan dengan kekuasaan atau pemerintahan.

Dalam studi Hubungan Internasional, geopolitik merupakan suatu kajian yang melihat masalah / hubungan internasional dari sudut pandang ruang atau geosentrik. Konteks teritorial di mana hubungan itu terjadi bervariasi dalam fungsi wilayah dalam interaksi, lingkup wilayah, dan hirarki aktor: dari nasional, internasional, sampai benua-kawasan, juga provinsi atau lokal.

Dari beberapa pengertian diatas, pengertian geopolitik dapat lebih disederhanakan lagi. Geopolitik adalah suatu studi yang mengkaji masalah-masalah geografi, sejarah dan ilmu sosial, dengan merujuk kepada politik internasional. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografi, yang mencakup lokasi, luas serta sumber daya alam wilayah tersebut. Geopolitik mempunyai 4 unsur yang pembangun, yaitu keadaan geografis, politik dan strategi, hubungan timbal balik antara geografi dan politik, serta unsur kebijaksanaan.

Negara tidak akan pernah mencapai persamaan yang sempurna dalam segala hal. Keadaan suatu negara akan selalu sejalan dengan kondisi dari kawasan geografis yang mereka tempati. Hal yang paling utama mempengaruhi keadaan suatu negara adalah kawasan yang berada di sekitar negara itu sendiri, atau dengan kata lain, negara-negara di sekitarnya / negara tetangga merupakan pengaruh yang paling besar.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan, bahwa ada dua golongan negara. Yaitu golongan negara “determinis” dan golongan negara “posibilitis”. Determinis berarti semua hal yang bersifat politis secara mutlak tergantung dari keadaan bumi geografi. Negara determinis adalah negara yang berada diantara dua negara raksasa / adikuasa, sehingga, secara langsung maupun tidak langsung, terpengaruh oleh kebijakan politik luar negeri dua negara raksasa itu.

Sebenarnya, faktor keberadaan dua negara raksasa, bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi keadaan suatu negara yang berada diantaranya. Faktor lain seperti faktor ideologi, politik, sosial, budaya dan militer, juga merupakan faktor yang mempengaruhi. Hanya saja, karena besarnya kekuasaan dua negara besar tersebut, maka keberadaannya menjadi faktor yang begitu dominan dalam mempengaruhi keadaan negara yang bersangkutan.

Golongan negara yang kedua adalah golongan negara posibilitis. Golongan ini merupakan kebalikan dari golongan determinis. Negara ini tidak mendapatkan dampak yang terlalu besar dari keberadaan negara raksasa, karena letak geografisnya tidak berdekatan dengan negara raksasa. Sehingga, faktor yang cukup dominan dalam mempengaruhi keadaan negara ini adalah faktor-faktor seperti ideologi, politik, sosial, budaya dan militer yang telah disebutkan sebelumnya. Tentunya, keberadaan negara-negara lain di sekitar kawasan tersebut juga turut menjadi faktor yang berpengaruh.

Geopolitik, dibutuhkan oleh setiap negara di dunia, untuk memperkuat posisinya terhadap negara lain, untuk memperoleh kedudukan yang penting di antara masyarakat bangsa-bangsa, atau secara lebih tegas lagi untuk menempatkan diri pada posisi yang sejajar di antara negara-negara raksasa.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keadaan geografi suatu negara sangat mempengaruhi berbagai aspek dalam penyelenggaraan negara tersebut, seperti pengambilan keputusan, kebijakan politik luar negeri, hubungan perdagangan dll. Maka dari itu, muncullah organisasi-organisasi internasional yang berdasarkan pada keberadaannya dalam suatu kawasan, seperti ASEAN, Masyarakat Ekonomi Eropa, The Shanghai Six dll. Komunitas-komunitas internasional ini berperan dalam hal kerjasama kawasan, penyelesaian masalah bersama, usaha menciptakan kedamaian dunia, dll.

Hal ini berkaitan langsung dengan peranan-peranan geopolitik. Adapun peranan-peranan tersebut adalah:

  1. Berusaha menghubungkan kekuasaan negara dengan potensi alam yang tersedia;

  2. Menghubungkan kebijaksanaan suatu pemerintahan dengan situasi dan kondisi alam;

  3. Menentukan bentuk dan corak politik luar dan dalam negeri;

  4. Menggariskan pokok-pokok haluan negara, misalnya pembangunan;

  5. Berusaha untuk meningkatkan posisi dan kedudukan suatu negara berdasarkan teori negara sebagai organisme, dan teori-teori geopolitik lainnya;

  6. Membenarkan tindakan-tindakan ekspansi yang dijalankan oleh suatu negara.



Teori Pan-Regionalisme


Ada banyak teori dalam bidang geopolitik. Teori yang paling berpengaruh adalah teori Lebensraum, yang melahirkan teori Autarkis. Penggabungan dari kedua teori tersebut menghasilkan teori Pan Regionalisme. Teori ini berpandangan bahwa negara merupakan suatu organisme, yang memiliki kecerdasan intelektual serta memerlukan ruang hidup.

Tak ada satupun negara yang dapat hidup mandiri secara mutlak. Karena keterbatasan-keterbatasan dan tidak meratanya ketersediaan Sumber Daya Alam, setiap negara akan mengalami interdependensi, atau keadaan saling membutuhkan. Teori ini pun berpandangan bahwa satu bagian dunia yang relatif mempunyai persamaan dalam sifat-sifat geografis, ras, kebudayaan dsb, dapat disatukan dalam satu kesatuan wilayah.

Teori inilah yang digunakan oleh Bangsa Jerman pada Perang Dunia ke-I. Dengan beranggapan bahwa bangsa Aria adalah bangsa yang paling unggul, mereka berekspansi ke negara lain, agar dapat menjadi pemimpin pan Euro-Afrika. Begitupun bangsa Amerika, yang berusaha menyatukan Pan-Amerika.



Aliran Teori Geopolitik

  1. Ajaran Frederich Ratzel

Pokok-pokok ajaran Frederich Ratzel sebagai berikut:

  • Dalam hal tertentu pertumbuhan negara dapat dianalogikan dengan pertumbuhan organisme yang memerlukan ruang lingkup.

  • Negara identik dengan suatu ruang yang ditempati oleh kelompok politik dalam arti kekuatan.

  • Suatu bangsa dalam arti mempertahankan kelangsungan hidupnya tidak terlepas dari hukum alam.

  • Semakin tinggi budaya suatu bangsa, semakin besar kebutuhan, dukungan akan sumber daya alam yang diperlukannya. Hal ini membenarkan hukum ekspansi, yaitu:

  • Bahwa perkembangan atau dinamika budaya/kebudayaan dalam bentuk gagasan dan kegiatan, harus diimbangi dengan pemekaran wilayah.

  • Batas-batas suatu negara pada hakikatnya bersifat sementara.



  1. Ajaran Rudolf Kjellen

Kjellen menegaskan bahwa negara adalah suatu organisme yang dianggap sebagai prinsip dasar. Esensi ajaran Kjellen adalah sebagai berikut:

  • Negara sebagai satuan biologis, suatu organisme hidup, yang memiliki intelektual.

  • Negara merupakan suatu sistem politik/pemerintahan yang meliputi bidang-bidang yaitu:geopolitik, ekonomi politik, demo politik, sosial politik, dan krato politik (politik pemerintahan).

  • Negara tidak harus bergantung pada sumber pembekalan luar, tetapi harus mampu berswaswmbada dan memanfaatkan kemajuan kebudayaan dan teknologi untuk meningkatkan kekuatan nasionalnya.



  1. Ajaran Karl Haushofer

Pokok-pokok teori Haushofer pada dasarnya sebagai berikut:

  • Kekuasaan imperium daratan yang kompak akan dapat mengejar kekuasaan imperium maritim untuk menguasai pengawasan di laut.

  • Beberapa negara besar di dunia akan timbul dan akan menguasai Eropa, Afrika, dan Asia Barat serta Jepang di Asia Timur.

  • Geopolitik adalah doktrin negara yang menitikberatkan pada soal-soal strategi perbatasan.

  • Ruang hidup bangsa dan tekanan-tekanan kekuasaan dan sosial yang rasial mengharuskan pembagian baru dari kekayaan alam di dunia.

  • Geopolitik adalah landasan bagi tindakan politik dalam perjuangan kelangsungan hidup untuk mendapatkan ruang hidupnya.




Indonesia sebagai Negara Kepulauan


Indonesia merupakan suatu negeri yang amat unik. Hanya sedikit negara di dunia, yang bila dilihat dari segi geografinya, memiliki kesamaan dengan Indonesia. Negara-negara kepulauan di dunia, seperti Jepang dan Filipina, masih kalah bila dibandingkan dengan negara kepulauan Indonesia.

Indonesia adalah suatu negara, yang terletak di sebelah tenggara benua Asia, membentang sepanjang 3,5 juta mil, atau sebanding dengan seperdelapan panjang keliling Bumi, serta memiliki tak kurang dari 13.662 pulau.

Jika dilihat sekilas, hal ini adalah suatu kebanggaan dan kekayaan, yang tidak ada tandingannya lagi di dunia ini. Tapi bila dipikirkan lebih jauh, hal ini merupakan suatu kerugian tersendiri bagi bangsa dan negara Indonesia. Indonesia terlihat seperti pecahan-pecahan yang berserakan. Dan sebagai 13.000 pecahan yang tersebar sepanjang 3,5 juta mil, Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah negara yang amat sulit untuk dapat dipersatukan.

Maka, untuk mempersatukan Bangsa Indonesia, diperlukan sebuah konsep Geopolitik yang benar-benar cocok digunakan oleh Bangsa Indonesia. Sebelum menuju pembahasan tentang konsep geopolitik Indonesia, terlebih dahulu kami akan membahas tentang kondisi serta keadaan Indonesia ditinjau dari segi geografisnya.

Ada beberapa jenis kondisi geografis bangsa Indonesia. Yaitu kondisi fisis, serta kondisi Indonesia ditinjau dari lokasinya.


1. Kondisi fisis Indonesia,
a. Letak geografis;
b. Posisi Silang;
c. Iklim;
d. Sumber-Sumber Alam;
e. Faktor-Faktor Sosial Politik.


2. Lokasi Fisikal Indonesia. Keberadaan pada lokasi ini adalah faktor utama yang mempengaruhi politik di Indonesia. Indonesia berada pada dua benua, yaitu Asia dan Australia. Indonesia pun berada diantara dua samudera, yaitu Samudera Pasifik dan Hindia.

Posisi silang, seperti yang telah dijelaskan pada poin kondisi fisikal, menyebabkan Indonesia menjadi suatu daerah Bufferzone, atau daerah penyangga. Hal ini bisa dilihat pada aspek-aspek dibawah ini:
1. Politik
Indonesia berada diantara dua sistem politik yang berbeda, yaitu demokrasi Australia dan demokrasi Asia Selatan;
2. Ekonomi
Indonesia berada di antara sistem ekonomi liberal Australia dan sistem ekonomi sentral Asia;
3. Ideologis
Indonesia berada diantara ideologi kapitalisme di Selatan dan komunis di sebelah utara;
4. Sistem Pertahanan
Indonesia berada diantara sistem pertahanan maritim di selatan, dan sistem pertahanan kontinental di utara.

Selain menjadi daerah Bufferzone, Indonesia pun memperoleh beberapa keuntungan disebabkan kondisinya yang silang tersebut. Antara lain:

  1. Berpotensi menjadi jalur perdagangan Internasional;

  2. Dapat lebih memainkan peranan politisnya dalam percaturan politik Internasional;

  3. Lebih aman dan terlindung dari serangan-serangan negara kontinental.



Masalah-Masalah Teritorial


Indonesia, sebagai sebuah negara kepulauan yang amat luas, memiliki berbagai masalah berkaitan dngan kondisinya itu. Beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah teritorial ini antara lain, dasar geografi, demografi, serta kondisi sosial masyarakat.

Masalah-masalah teritorial yang terjadi di Indonesia, pada umumnya menyangkut beberapa hal berikut:

  1. Pembinaan wilayah untuk menciptakan ketahanan nasional yang maksimal dan efektif;

  2. Faktor kesejahteraan dan keamanan;

  3. Pembinaan teritorial yang dititikberatkan pada penyusunan potensi Hankam;

Bila masalah-masalah yang timbul dari beberapa faktor di atas dapat diatasi dengan baik oleh Bangsa Indonesia, maka akan tercapailah suatu keadaan yang dinamakan ketahanan nasional. Untuk mencapai keadaan tersebut, terdapat suatu prosedur yang dinamakan “geostrategi”.
Secara umum, geostrategi merupakan upaya untuk memperkuat ketahanan di berbagi bidang, yaitu bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, militer, kehidupan beragama, dan pembangunan.


Wawasan Nusantara


Seperti telah dikemukakan sebelumnya, diperlukan suatu konsep geopolitik khusus untuk menyiasati keadaan / kondisi Negara Indonesia, yang terdiri dari ribuan pulau dan sepanjang 3,5 Juta Mil. Konsep geopolitik itu adalah Wawasan Nusantara. Berbeda dengan pemahaman geopolitik negara lain yang cenderung mengarah kepada tujuan ekspansi wilayah, konsep geopolitik Indonesia, atau wawasan Nusantara justru bertujuan untuk mempertahankan wilayah. Sebagai negara kepulauan yang luas, Bangsa Indonesia beranggapan bahwa laut yang dimilikinya merupakan sarana “penghubung” pulau, bukan “pemisah”. Sehingga, walaupun terpisah-pisah, bangsa Indonesia tetap menganggap negaranya sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri dari “tanah” dan “air”, sehingga lazim disebut sebagai “tanah air”.

Tujuan dari Wawasan Nusantara dibagi menjadi dua tujuan, yaitu tujuan nasional dan tujuan ke dalam. Tujuan nasional dapat dilihat dalam Pembukaan UUD ’45. Pada UUD ’45 dijelaskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Sedangkan tujuan yang kedua, yaitu tujuan ke dalam, adalah mewujudkan kesatuan segenap aspek kehidupan baik alamiah maupun sosial. Maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bangsa Indonesia adalah menjunjung tinggi kepentingan nasional, serta kepentingan kawasan untuk menyelenggarakan dan membina kesejahteraan, kedamaian dan budi luhur serta martabat manusia di seluruh dunia.

Untuk mewujudkan integrasi tanah air serta mencapai tujuan Wawasan Nusantara diatas, maka dipakailah lima asas, yaitu:
1. Satu kesatuan wilayah;
a. Satu wadah Bangsa Indonesia yang bersatu;
b. Satu kesatuan tumpah darah dengan bersatunya dan dipersatukan segala anugerah dan hakekatnya.
2. Satu kesatuan negara;
a. Satu UUD dan politik pelaksanaannya;
b. Satu ideologi dan identitas nasional.
3. Satu kesatuan budaya;
a. Satu perwujudan budaya nasional atas dasar Bhinneka Tunggal Ika;
b. Satu tertib sosial dan tertib hukum.
4. Satu kesatuan ekonomi;
a. Satu tertib ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan;
b. Seluruh potensi yang ada atau yang dapat diadakan, diselenggarakan secara total untuk mewujudkan suatu kesatuan sistem pertahanan keamanan. Yang meliputi subyek, obyek dan metode.

Perwujudan tanah air sebagai satu kesatuan, sudah sesuai dengan aspirasi dari falsafah Pancasila. Pelaksanaan Wawasan Nusantara akan terlihat hasilnya dengan terwujudnya suatu ketahanan nasional Indonesia.

Ketahanan nasional Indonesia bersifat defensif serta melihat dan mawas ke dalam disertai usaha untuk membina daya, kekuatan serta kemampuan sendiri, meliputi segenap aspek kehidupan alamiah dan sosial. Dengan wawasan Nusantara, suatu ketahanan nasional dapat tercapai sesuai dengan kepribadian serta bentuk kepulauan Indonesia yang satu kesatuan dalam persatuan ini.

Jadi, Wawasan Nusantara bermaksud untuk mewujudkan kesejahteraan, ketenteraman dan keamanan bagi Bangsa Indonesia, dengan demikian ikut serta juga dalam membina kebahagiaan dan perdamaian bagi seluruh umat manusia di dunia.

Masalah Kontemporer Tentang Geopolitik di Indonesia

Di sini akan ditampilkan sebuah pendapat seorang blogger tentang masalah geopolitik di Indonesia. Masalah itu berkaitan tentang aksi separatisme Timor Leste dari Indonesia.

Representasi Berbahaya

Salah satu representasi yang berbahaya mengenai Timor Leste bersumber pada para komentator/kolumnis/jurnalis yang mempertanyakan kebijakkan bahasa pemerintah negara tersebut untuk menggunakan Tetum dan Portugis sebagai bahasa resmi. Representasi tersebut memojokkan sebuah pemerintahan nasionalis Alkatiri yang mencoba menahan tekanan kuat dari dua gajah tetangganya, Indonesia dan Australia. Pemberitaan di Jakarta Post dan Kompas, media yang bisa dikatakan paling moderat dalam soal berita luar negeri, melukiskan adanya communication gap antar generasi dan Mari Alkatiri yang elitis.

Bahayanya representasi ini adalah terlupakannya dosa dua gajah tetangga Timor Leste yang menghancurkan negeri tersebut, pertama dengan invasi 1975, kedua dengan pembiaran keberadaan milisi bersenjata pro Indonesia ,dan keengganan mengamankan proses dekolonisasi dari Indonesia, dan terakhir memberikan tekanan untuk pergantian Mari Alkatiri yang dinilai tidak kooperatif dengan kedua gajah itu.

Alkatiri dituduh membuat banyak kebijakan yang tidak membumi, atau erratic. Seorang aktivis NGO di Kupang menulis di Kompas tentang kebijakan Alkatiri yang ia tuduhkan berorientasi pada Mozambik sehingga pasti gagal.

Bahaya kedua dari representasi tersebut adalah terlukisnya, secara tidak langsung, kelompok-kelompok pemuda berparang yang melakukan penjarahan dan pembakaran rumah sebagai generasi muda yang “marah” kepada pemerintahan Alkatiri. Harus diingat, tahun 1999 Timor Leste juga pernah mengalami hal yang sama oleh milisi-milisi pro Indonesia. Dan sebagian besar pelaku peristiwa tersebut diterima kembali oleh Timor Leste. Bukan tidak mungkin mereka yang melakukan penjarahan dan pembakaran adalah keompok-kelompok yang sama.

Ada banyak informasi yang terlupakan dalam pemberitaan Timor Leste, dan dengan bias chauvinisme, beberapa media di Indonesia bermain dengan representasi ini bersama dengan media Australia yang sangat terkenal dengan bigotry. Yang lucu, adalah terpancingnya Susilo Bambang Yudhoyono memberikan komentar yang tidak perlu, bahkan menjadi tidak tahu malu sejarah (tidak mau mengaku salah atas pendudukan Indonesia di TL), atas Alkatiri. Yudhoyono, tampaknya dibawah permainan representasi media Australia, menghardik Alkatiri karena telah menduga Indonesia terlibat dalam peristiwa-peristiwa keamanan di Timor Leste, sesuatu yang dibantah oleh Alkatiri.





LEPASNYA P. SIPADAN DAN P. LIGITAN

oleh :

Kolonel Ctp Drs. Umar S. Tarmansyah, Peneliti Puslitbang SDM Balitbang Dephan

Putusan Mahkamah Internasional/MI,International Court of Justice (ICJ) tanggal 17-12-2002 yang telah mengakhiri rangkaian persidangan sengketa kepemilikan P. Sipadan dan P. Ligitan antara Indonesia dan Malaysia mengejutkan berbagai kalangan. Betapa tidak, karena keputusan ICJ mengatakan kedua pulau tersebut resmi menjadi milik Malaysia.Disebutkan dari 17 orang juri yang bersidang hanya satu orang yang berpihak kepada Indonesia. Hal ini telah memancing suara-suara sumbang yang menyudutkan pemerintah khususnya Deplu dan pihak-pihak yang terkait lainnya. Dapat dipahami munculnya kekecewaan di tengah-tengah masyarakat, hal ini sebagai cermin rasa cinta dan kepedulian terhadap tanah air.

Ada hal yang menggelitik dari peristiwa ini, mengapa kita kalah begitu telak, padahal perkiraan para pemerhati atas putusan ICJ “fifty-fifty”, karena dasar-dasar hukum, peta dan bukti-bukti lain yang disiapkan oleh kedua pihak relatif berimbang. Dari penjelasan yang di “release” mass media, ternyata ICJ/MI dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai status kedua Pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation”. Dapat dimengerti bilamana hampir semua Juri MI yang terlibat sepakat menyatakan bahwa P. Sipadan dan P. Ligitan jatuh kepada pihak Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak begitu jauh dari Malaysia dan faktanya Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut.

Sia-sialah perjuangan Indonesia selama belasan tahun kita memperjuangkan kedua pulau tersebut kedalam wilayah Yurisdiksi kedaulatan NKRI, ini akibat dari kekurang-seriusan kita dalam memperjuangkannya, itulah komentar-komentar yang muncul. Benarkah birokrat kita kurang serius memperjuangkan pemilikan dua pulau tersebut ?

Dari rangkaian panjang upaya yang dilakukan rasanya perjuangan kita cukup serius. Putusan MI sudah final dan bersifat mengikat sehingga tidak ada peluang lagi bagi Indonesia untuk mengubah putusan tersebut. Tidak patut lagi kekalahan ini harus diratapi, yang terpenting bagaimana kita mengambil pelajaran untuk ke depan jangan sampai kecolongan lagi untuk ketiga kalinya.

Sekilas mengenai proses penyelesaian sengketa pulau Sipadan dan pulau Ligitan

Kasus P. Sipadan dan P. Ligitan mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia – Malaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan P. Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Disaat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “Status Quo”.Dua puluh tahun kemudian (1989), masalah P. Sipadan dan P. Ligitan baru dibicarakan kembali oleh Presiden Soeharto dan PM. Mahathir Muhamad.

Tiga tahun kemudian (1992) kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC & Joint Working Groups/JWG).Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG.Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kualalumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.

Pada pertemuan tgl. 6-7 Oktober 1996 di Kualalumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tgl. 31 Mei 1997 disepakati “Spesial Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan”. Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan di MI/ICJ mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya berada di tangan RI.

Namun demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui “ Written pleading “ kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “reply” pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing” dari kedua negara bersengketa pada 3 –12 Juni 2002 . Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas Indonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International.

Indonesia mengangkat “co agent” RI di MI/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum di MI/ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi dan dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih Rp. 16.000.000.000 dana telah dikeluarkan yang sebagian besar untuk membayar pengacara. Dengan demikian tidak tepat bila dikatakan pihak Indonesia tidak serius memperjuangkan P. Sipadan dan P. Ligitan.

KONDISI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA

Penegasan Batas

Indonesia berbatasan di darat dengan Malaysia, Papua Nugini (PNG) dan Timor Larose. Proses penegasan batas darat dengan Malaysia yang dilaksanakan sejak tahun 1975 yang panjang mencapai lebih dari 2000 km, hampir selesai dilaksanakan ( teknis dilapangan) oleh tim Teknis penegasan Batas Bersama (Joint Border Demarcation Team).

Penegasan batas dengan PNG telah berhasil menyelesaian pilar batas utama (Monumen Meridian/MM). Dan sekarang dalam tahap perapatan pilar batas. Namun dikarenakan berbagai kendala proses perapatan pilar batas ini sejak tahun 2000 berhenti. Sementara itu penegasan batas dengan Timor Larosae sudah dirintis sejah pemerintahan pewakilan PBB (UNTAET) dan sekarang telah sampai pada tahap survey penyelidikan lapangan (Joint Reconnaissance Surveys).

Penegasan batas wilayah negara di laut diwujudkan dengan cara menentukan angka koordinat geografi yang digambar di atas peta laut, sebagai hasil kesepakatan bersama melalui perundingan bilateral. Batas laut ini terdiri dari batas laut wilayah/teritorial, batas landas kontinen dan batas zona ekonomi Ekslusif (ZEE). Indonesia yang berbatasan di laut tidak kurang dengan 10 negara, baru sebagian kecil saja batas lautnya yang telah ditegaskan antara lain dengan Malaysia, Singapura, Australia, PNG, Thailand dan India. Hal itupun bersifat parsial, belum secara tuntas menyelesaikan seluruh segmen batas dan jenis batas laut.

Kondisi Wilayah Perbatasan

Wilayah perbatasan (Wiltas) darat antar RI dengan Malaysia, PNG dan Timor Larosae terdiri dari daerah pegunungan, dengan konfigurasi medan yang berat/terjal, bervegetasi hutan yang relatif rapat dengan penduduk sangat jarang. Kondisi demikian dikarenakan pemerintah tidak menjadikan Wiltas sebagai prioritas dalam program pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun Pemda. Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru, Wiltas diposisikan sebagai daerah pinggiran/periferal atau daerah belakang yang sering terabaikan. Dalam pembangunannya, namun sumber daya alamnya, khususnya kayu dieksploitasi dengan serampangan secara besar-besaran. Hal tersebut meninggalkan keprihatinan dan luka hati yang dalam bagi penduduk Wiltas. Ironinya kerusakan hutan yang terjadi sering ditimpakan kepada penduduk Wiltas. Akibatnya, penduduk Wiltas yang semula sangat peduli dengan lingkungan (menyatu dengan alam) menjadi berubah drastis.

Mereka pada akhirnya mulai berkolusi dengan para penjarah hutan tersebut. Mereka juga mulai berfikir dan bersikap materialistis-konsumeris. Sementara itu sikap moral dan pengabdiannya terhadap lingkungan mulai tergerus menipis. Orientasi penduduk Wiltas terutama anak-anak mulai berubah. Setelah TV, Radio, Parabola masuk Wiltas, mereka mulai mengenal budaya “jalan pintas” untuk menjadi kaya. Mereka banyak yang meninggalkan kampungnya, me-ngubah mata pencarian dan berspekulasi di kota terdekat. Itulah proses degradasi lingkungan dan komunitas Wiltas.

Wilayah Perbatasan Laut (Wiltasla). Kondisi Wiltasla lebih memprihatinkan lagi. Penduduk pulau–pulau perbatasan laut seperti penduduk Kep. Sangir dan Talaud (Satal) di Sulawesi Utara, kondisinya secara umum tidak bertambah maju. Bahkan jumlahnyapun malah berkurang. Hal ini disebabkan kesulitan hidup karena lokasi geografi yang terpencil dan faktor keganasan badai laut. Kaum muda di sini juga banyak yang pindah ke daratan Sulawesi Utara. Hal yang hampir sama juga terjadi di P. Miangas (Palmas), Kep Natuna dan pulau-pulau Wiltas lainnya.

Sementara itu, kekayaan laut Wiltasla banyak dirambah nelayan asing. Dengan kapal modern dan peralatan yang canggih, mereka bebas berkeliaran di perairan Wiltasla kita tanpa rasa takut, karena jarang aparat Kamla kita yang berpatroli di sana. Sementara penduduk setempat tidak berdaya mengusir mereka. Bahkan penduduk (sebagian) tidak merasa perlu mengusir para penjarah ikan itu, karena mereka memberi manfaat bagi penduduk setempat. Sikap penduduk Wiltas yang demikian tidak perlu dipersalahkan, karena mereka bodoh tidak tersentuh pemberdayaan SDM, apatah lagi sikap Bela Negara.

Upaya yang perlu dilaksanakan

Untuk meningkatkan pengamanan di Wiltas, maka harus dilakukan perkuatan atau peningkatan kemampuan secara sinergis antara komunitas penduduk perbatasan dengan aparat Hankam di Wiltas.

Persepsi, strategi dan kebijakan pembangunan Wiltas seyogiannya diubah. Selama ini Wiltas dipandang sebagai daerah pinggiran (periphery areas atau border areas). Kita harus punya keberanian mengubah paradigma ini menjadikan Wiltas sebagai daerah depan (frontier areas). Mengapa demikian, karena daerah ini langsung bersentuhan dengan luar negeri. Bagi pihak asing (negara tetangga) kesan pertama mereka atas Indonesia diperoleh dari kondisi lingkungan dan komunitas penduduk perbatasan. Dengan demikian, Wiltas menjadi “Cermin” Indonesia.

Beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk memberdayakan Wiltas

Merancang konsep pembedayaan Wiltas secara terpadu baik fisik maupun non fisik (SDM) sesuai potensi sumberdaya yang ada. Dalam konsep Bangwiltas terpadu ini termasuk sektor Hankam Wiltas. Dalam hal ini, posisi penduduk sebagai subyek pembangunan yang aktif. Setiap pembangunan dari masing-masing sektor (Ipoleksosbud Hankam) harus dirancang untuk saling memberi manfaat. Pembangunan dapat diawali dengan prasarana transportasi (jalan, terminal, bandara, pelabuhan dll) yang dikonsep tidak saja untuk kegiatan sosial, ekonomi, budaya, namun harus dapat dimanfaatkan untuk kemudahan operasi

Hankam. Selanjutnya pembangunan ekonomi dengan memprioritaskan sumberdaya permukaan (tanah dan hutan). Tidak ada salahnya kita berguru kepada Malaysia, bagaimana mereka menata jaringan jalan dan perkebunan sawit serta hutan secara teratur dan terkonsep yang sangat berbeda kenampakannya dengan Wiltas di Kalimantan yang semraut.

Prioritaskan penyelesaian penegasan batas negara, termasuk pemetaan dalam skala yang memadai (Wiltasrat 1 ; 50.000 dan Wiltasla 1 ; 250.000). Peta standar ini penting sebagai sarana operasi Hankam dan pembangunan (sebagian sudah dilaksanakan Dittopad dan Dishidros TNI-AL).

Tingkatkan Operasi, pengamanan Wiltas secara periodik, terkoordinasi, dan sekali–sekali kerjasama dengan negara tetangga sambil mensosialisasikan wilayah tanggung jawab masing-masing. Untuk mendukung Pamwiltas ini dapat juga digunakan jasa Satelit dan penerbangan perintis lintas zona perbatasan misalnya : Dari Pontianak ke Kota Kinabalu (Malaysia) dan dari Jaya Pura ke Port Moresby (PNG).

Pemberian subsidi yang memadai untuk aparat dan pegawai negeri serta masyarakat Wiltas. Tanpa subsidi hidup di Wiltas terasa sangat berat karena biaya hidup di sana sangat mahal. Seharusnya subsidi yang diberikan di Wilayah Satal, Natuna, Miangas lebih besar dari pada yang bertugas/yang tinggal di Irian/Papua. Untuk masyarakat, subsidi hendaknya diprioritaskan untuk sektor pendidikan, pangan pokok, kesehatan dan modal usaha kecil.

Pelajaran yang dapat diambil

Ketika pemerintah memutuskan jajak pendapat di Timor-Timor untuk menentukan apakah rakyat Tim-Tim akan memilih tetap bergabung (Integrasi) NKRI atau merdeka, tidak begitu banyak kalangan yang menentang karena di atas kertas pihak pro integrasi diperkirakan akan menang, setidak-tidaknya fifty-fifty. Namun, ternyata setelah jejak pendapat dilaksanakan, pihak pro integrasi kalah dengan presentase secara menyolok (kurang lebih 23,5 %). Demikian pula dengan kasus P. Sipadan dan P. Ligitan, perkiraan menang-kalah 50% – 50%, sehingga minimal P. Sipadan masih bisa menjadi milik Indonesia kenyataannya, Indonesia kalah secara meyakinkan.

Dari dua kasus di atas dapat diambil kesimpulan, pertama patut diduga bahwa dalam kedua kasus di atas ada pihak ketiga yang turut “bermain” untuk merugikan Indonesia. Kedua, sesuatu kebijakan yang diambil pemerintah yang berdampak pada resiko kehilangan sebagian wilayah tanah air harus dipertimbangkan dengan seksama melibatkan semua komponen bangsa, bahkan kalau bisa, dihindari.

Ketiga, mencermati pengambilan putusan MI yang didasarkan pada kriteria “Continuous presence, dan effective occupation” hal ini memberikan signal negatif dan preseden buruk yang menuntut kehati-hatian dan kewaspadaan kedepan.

Ada beberapa pulau kecil terpencil yang secara posisi geografis kedudukannya lebih dekat dengan negara tetangga yang diindikasikan memiliki keinginan memperluas wilayah. Pulau-pulau tersebut antara lain, P. Nipah dan beberapa pulau Karang tak berpenduduk yang berbatasan dengan Singapura. P. Rondo berbatasan dengan Kepulauan Andaman (India), P. Miangas berbatasan dengan Philipina, P. Pasir Putih berbatasan dengan Australia dan ada satu pulau kosong di Kalimantan Barat yang dihuni nelayan Thailand. Negara-negara tetangga memiliki kesempatan terbuka untuk menguasai pulau-pulau tersebut dengan menggunakan pendekatan pembinaan Continuous Presence dan Effective Occupation. Selama ini penghidupan penduduk pulau-pulau tersebut banyak bergantung kepada negara tetangga terutama segi-ekonomi. Mereka juga lebih banyak menonton televisi dari siaran TV Malaysia atau Singapura. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap kebudayaan dan komitmen, hak dan kewajiban mereka selaku warga negara RI.


DAFTAR PUSTAKA

Harsawaskita, A. 2007. “Great Power Politics di Asia Tengah Suatu Pandangan
Geopolitik”, dalam Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional.
Bandung: Graha Ilmu.

Hidayat, I. Mardiyono. 1983. Geopolitik, Teori dan Strategi Politik dalam
Hubungannya dengan Manusia, Ruang dan Sumber Daya Alam. Surabaya
Usaha Nasional.

Makarim, N.A. 2004. Geopolitik. [Online]. Tersedia:http://www.kompas.com/kompas-cetak/041228/utama [28 Maret 2007].

Poerwowidagdo, S.J. 1999. Geoekonomi, Abstraksi ekonominya di kepulauan RI.
[Online]. Tersedia: — [28 Maret 2007].

Sumarsono, S, et.al. 2001. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Http://geopolitik.org/?p=26#more-26 diakses tanggal 18 Mei 2009 jam 00.50 WIB

Suryono, Hasan dkk. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Surakarta: UNS Press.


Visitors Counter

Website counter