Machiavelli adalah seorang pakar teori politik Italia yang mengemukakan teori tentang cara hitam, yaitu cara-cara memperoleh kekuasaan dengan cara licik, menghalalkan segala cara, bahkan bisa sampai tidak bermoral.
Dalam bukunya, The Prince tahun 1513, menyatakan bahwa semua pemimpin harus menggunakan penipuan dan akal licik, untuk mencapai tujuan mereka. Dengan kata lain, seorang pemimpin harus tahu bila ia harus berperanan sebagai singa. Perubahan karakter seorang pemimpin itu harus mengikuti keadaan. Ini bererti juga seorang pemimpin itu harus memberikan kesan yang baik di depan rakyat bahwa ia seorang yang lembut, pemurah, bahkan pro agama. Namun ia pun dapat berbuat jahat dan mengabaikan rasa sayang dan moral jika diperlukan.
Teori kepemimpinan yang diusung oleh Machievelli itu merupakan salah satu model kepemimpinan yang banyak digunakan oleh para pemimpin diktator, seperti Napoleon, Stalin, Hitler, Benito Mussolini, Slobodan Milosevic, Pinochet, hingga Pol Pot. Mereka menggunakan teori Machiavelli untuk mempertahankan kekuasaannya sehingga mereka menjadi diktator ulung di masanya. Bagi penentang teori ini, Machiavelli dianggap sebagai simbol kediktatoran dan kekejaman. Teori kepemimpinan Machievelli cenderung menghalalkan segala cara untuk mempertahankan suatu kekuasaan.
Tak heran jika para Machiavellis, terutama para penguasa yang menjalankan prinsip Machiavelli tersebut dianggap sebagai individu dan kumpulan manusia yang membenarkan dusta, penipuan, penindasan, dan pembunuhan, termasuk pengingkaran sejarah asal stabiliti kekuasaannya mantap dan tidak tergugat.
Menurut Machiavelli, penguasa yang menjalankan aturan-aturan konvensional seperti petunjuk-petunjuk moral (agama) yang menekan justru akan menghancurkan kekuasaannya sendiri. Ia menganjurkan seorang penguasa itu mengabaikan pertimbangan moral secara total dan mengandalkan kekuatan dan kelicikan, termasuk mewujudkan kekuatan militer yang dilengakapi persenjataan terbaik. Seorang penguasa juga harus dikelilingi oleh menteri-menteri yang mampu dan setia, terdiri dari penjilat untuk mencapai kejayaannya.
Machiavelli juga mengajukan dua pilihan perbincangan, apakah seorang penguasa itu lebih baik dicintai atau dibenci/ditakuti. Menurutnya penguasa sebaiknya ditakuti dan dicintai, tapi kedua pilihan ini ini tak boleh disandang sekaligus, lebih mudah bagi seorang penguasa adalah ditakuti, kerana bila dia memilih untuk dicintai maka ia harus siap-siap untuk mengorbankan kepentingan demi rakyat yang mencintainya.
innOcent vaNdaLism
cLocK
About Me..
- Bayu Ardi Isnanto
- Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Blog Archive
ShOutbOx..!!
|
Montesquieu membagi kekuasaan dalam tiga cabang atau yang terkenal dengan Trias Politika yang menurutnya haruslah terpisah satu sama lain:
1. Kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat Undang-Undang),
2. Kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk melaksanakan Undang-Undang, tetapi oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri),
3. Kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili atas pelanggaran Undang-Undang).
Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, akan terjamin kebebasan pembuatan undang-undang oleh parlemen, pelaksanaan undang-undang oleh lembaga peradilan, dan pelaksanaan pekerjaan negara sehari-hari oleh pemerintah.
Untuk mencegah dari satu cabang menjadi besar, dan teknologi untuk bekerja sama dengan kantor cabang, pemerintahan yang menerapkan sistem pemisahan kekuasaan. Biasanya ini dicapai melalui suatu sistem "check and balances", yang asal, seperti pemisahan kekuasaan itu sendiri, khususnya untuk dijelaskan Montesquieu. Check and balances memungkinkan untuk sebuah sistem berbasis aturan yang memungkinkan untuk membatasi satu cabang lain, seperti kekuasaan Kongres untuk mengubah komposisi dan yurisdiksi dari pengadilan federal.
Proses pemikiran mengenai sumber legitimasi negara, yaitu kedaulatan rakyat, serta pelembagaannya inilah yang kemudian melahirkan konsep demokrasi yang dikenal sekarang. Terlihat bahwa kedaulatan rakyat merupakan argumentasi yang paling dapat diterima dalam gagasan mengenai legitimasi negara. Konsep inilah yang merupakan pemikiran awal mengenai demokrasi, yang kemudian berkembang hingga saat ini.
Kekayaan dan kekuasaan membuat perbedaan dalam masyarakat. Ini menyebabkan adanya hak-hak istimewa yang diperoleh golongan tertentu. Dan adanya hak-hak istimewa tersebut membuat kecenderungan terciptanya kekuasaan tunggal. Oleh karena itu, manusia membuat kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari semua. Jika dihubungkan dengan negara, kekuasaan tunggal tersebut harus dipisah menjadi cabang-cabang lain agar terjamin kebebasan pembuatan undang-undang oleh parlemen, pelaksanaan undang-undang oleh lembaga peradilan, dan pelaksanaan pekerjaan negara sehari-hari oleh pemerintah.
“Manusia dilahirkan bebas, tetapi di mana-mana mendapatkan dirinya terbelenggu”. Kalimat ini tidak hanya berarti bahwa setiap orang secara alamiah bebas tetapi kemudian masyarakatlah yang mengekangnya dalam berbagai ikatan.
Rousseau berpendapat bahwa manusia itu pada hakekatnya baik. Segala tindakan didasarkan atas kepercayaan diri, cinta kasih, dan belas kasihan pada sesamanya. Karena ancaman-ancaman dan penghalang semakin besar, maka mereka mengakhiri keadaan alamiah dengan “Du Contract Social”. Kontrak sosial adalah kesepakatan yang rasional untuk menentukan seberapa luas kebebasan warga (yang pada asasnya tak terbatas) dan di lain pihak seberapa besar kewenangan pejabat negara (yang pada asasnya terbatas).
Dalam mengadakan perjanjian, tiap orang menempatkan diri menyerahkan hak secara bersama-sama di bawah kekuasaan bersama yang tertinggi sebagai kesatuan. Tiap anggota tak terpisahkan, dan keadaan alamiah ini berakhir. Kekuasaan tertinggi yang dimaksud adalah negara. Alasan pembentukan negara menurut dia adalah supaya ada kekuatan memaksa yang bersifat legal untuk mempergunakan kekerasan kalau terdapat pengingkaran terhadap hak alamiah manusia itu. Maka mereka yang melanggar kesepakatan harus dianggap telah meninggalkan kesepakatan. Dengan demikian, iapun akan juga kehilangan haknya (untuk sementara ataupun untuk seterusnya) dan akan serta merta mendapat hukuman.
Kontrak sosial bukanlah sumber hak, melainkan “hanya” merupakan kesepakatan yang bermaksud menegaskan saja adanya hak kodrati warga yang mutlak dan asasi, yang dalam kehidupan bernegara sekalipun mesti tetap terlindungi dan dijamin agar tidak diingkari oleh siapapun, juga oleh para penguasa negara. Bagi Rousseau, kontrak sosial “hanyalah” berhakikat sebagai kesepakatan tentang cara dan sarana yang diputuskan guna menjamin bagaimana hak tetap bisa dilindungi dan bagaimana kekuasaan publik bisa dibentuk demi terlindunginya hak-hak manusia dalam statusnya sebagai warga negara itu.
TEKNOLOGI INFORMASI: Perkembangan Sistem Komunikasi dan Kebijaksanaan-Kebijaksanaannya
Diposting oleh Bayu Ardi IsnantoDi banyak negara, teknologi informasi digunakan oleh organisasi-organisasi dalam pengalokasian sumber daya ekonomi, politik, budaya, hukum. Kebijakan-kebijakan yang dibuat dalam pengalokasian sumber daya tersebut dapat menentukan kekuatan suatu negara.
Pembuatan kebijakan adalah suatu tahap pengenalan dimana masalah yang dikenal dan kebijakan khusus yang dibuat pemerintah digunakan untuk menentukan petunjuk-petunjuk.
Sedikit negara industri berkembang yang tanpa kebijakan komunikasi dan perencanaan infrastruktur. Sebaliknya, negara maju secara seksama merancang kebijakan dan perencanaan komunikasi sehingga menghasilkan control yang kuat terhadap bidang ekonomi, politik, budaya, hukum.
Revolusi Komunikasi
Terdapat dua sudut pandang tentang revolusi komunikasi. Pertama, perkembangan komunikasi modern dan aliran informasi internasional sebagai hal yang biasa dan suatu bentuk proses evaluasi sama dengan segala macam peristiwa yang telah melalui masyarakat barat selama 4 abad silam. Kedua, mereka memandang arus krisis di dunia ini tidak hanya sebagai kematian kekuatan industri, tetapi juga sebagian dunia bukan industri didominasi oleh negara industri, kecuali adanya perubahan struktur ekonomi, politik, industri, dan budaya.
Teknologi vs Tradisi
Jaringan tradisional seperti pertemuan akbar, pasar, masjid, dan pasar malam telah lama kita tinggalkan sebagai bidang pengenalan klasifikasi dan studi. Ini dinamakan sebagai “Komunikasi Mulut”, tapi masa-masa komunikasi lisan sudah tidak ditentukan.
Teknologi sekarang telah mengalami perkembangan. Dunia sekarang diistilahkan dengan post-industrial information society atau lebih dikenal sebagai masyarakat informasi. Cybernet muncul menjadi sesuatu yang melewati informasi. Cybernet telah melebihi perubahan teknologi yang cepat di bidang komputer.
Teknologi Komunikasi dan Perkembangannya
Dunia telah mengalami 3 kali revolusi, yaitu pertanian, industri, informasi. Istilah “informasi” dan “pengetahuan” digunakan dalam makna yang sama. Teknologi dan informasi dapat dengan mudah menyatakan budaya dan epistimologi paradigma di beberapa masyarakat, tetapi tak ada satupun yang bisa menyangkal kekuatan penghapusan ilmu pengetahuan, ideologi atau mitologi di masyarakat yang sama.
Secara historis, pengetahuan paling awal dari infrastruktur adalah infrastruktur transportasi (jalan, pelabuhan, surat), kedua adalah energi (air, bendungan, listrik, minyak), kemudian diikuti telekomunikasi (satelit, komputer, radar) sebagai infrastruktur yang ketiga.
Kerangka Kerja Konseptual Untuk Kebijakan dan Teori
Berdasarkan pengujian literatur dan institusi yang berhubungan dengan kebijakan dan perencanaan komunikasi, diikuti dengan penelitian yang berbeda yang telah diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Rencana jangka panjang dengan tujuan kebijakan ke arah distribusi yang adil dari kekuatan komunikasi di dalam masyarakat masa depan.
2. Perencanaan komprehensif yang menguji semua aspek sistem komunikasi dalam Kerangka kerja sosial politik masyarakat.
3. Perkembangan pendukung komunikasi didesain untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proyek dan memastikan pelaksanaannya sukses.
4. Transfer teknologi dan penilaian, khususnya inovasi dalam beberapa bidang seperti satelit komunikasi, televisi kabel, dan telekomunikasi komputer.
5. Kontrol dan peraturan serta konsekuensi hukum dan institusional.
6. Pendekatan normatif dan orientasi tujuan dalam program kebijakan komunikasi memainkan peranan aktif dalam memperluas pandangan politik dan kebudayaan masyarakat melalui program alternatif dan kritik.
7. Informasi ekonomi, menentukan sektor informasi kontribusi ekonomi terhadap keseluruhan pertumbuhan ekonomi.
8. Pendekatan terintegrasi ke arah metodologi komprehensif.
Implikasi Kebijakan Komunikasi Internasional dan Nasional
Langkah pertama dalam formasi kebijakan harus menjadi definisi yang tepat dari konsep semacam informatik dan telematik. Definisi tersebut harus benar-benar jelas apa yang ditransmisikan.
Beberapa pertimbangan pemikiran harus diberikan kepada konsekuensi, dan mungkin beberapa perencanaan untuk masa yang akan datang dapat menguntungkan sebuah dunia yang sekarang dibiasakan dengan serangan konstan dari revolusi teknologi.
Yang dituntut sekarang ini adalah sebuah transformasi yang fundamental dan mengubah dalam level konseptualisasi dan memandang komunikasi dan informasi mengalir sebagai sebuah keseluruhan yang integratif.
Kesimpulan
Memandang proses komunikasi sebagai sebuah keseluruhan integrasi menantang determinasi teknologi yang menggarisbawahi banyak kebijakan dan perencanaan komunikasi. Pandangan ini mempertimbangkan arti penting dari inovasi teknologi modern dalam hal tujuan perkembangan dan kebutuhan sistem komunikasi dan teknologi dan distribusi politik, budaya, dan keuntungan ekonomi pada masyarakat.
Maka, sebuah masyarakat atau negara, baik itu level individual maupun level nasional merefleksikan bentuk-bentuk dari beberapa kombinasi tradisi dari sistem komunikasi dan teknologi, dan mungkin menjadi lebih kuat dan lebih dominan dari ketergantungan yang lain pada kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi.
Nama lengkapnya Karl Heinrich Karl Marx. Lahir pada tanggal 5 Mei 1818 M di kota Trier–Prusia sebelah perbatasan barat Jerman. Karl Marx dilahirkan di tengah-tengah keluarga Yahudi. Ayahnya, Heinrich Marx adalah seorang pengacara Yahudi, tekanan dari pemerintah Prusia, pada akhirnya membuat keluarganya pindah agama dari penganut Yahudi menjadi Kristen Protestan. Dia pernah menjadi mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Bonn dan melanjutkan studi filsafat di Universitas Berlin.
Komunisme
Karl Mark dengan teori konflknya, menyoroti masyarakat manusia sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik. Dan akhirnya akan membentuk suatu masyarakat tanpa kelas, bebas konflik dan kreatif. Yang dimaksud Marx dengan komunisme bukanlah sebuah kapitalisme negara, jadi dimana hak milik diadministrasikan oleh negara. Marx mengatakan bahwa hanya pada permulaan, sosialisasi berarti nasionaliasasi- jadi negara mengambil alih hak milik pribadi.
Ciri-ciri masyarakat komunis adalah penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi penghapus adanya kelas-kelas sosial, menghilangnya negara, penghapusan pembagian kerja. Kelas-kelas tidak perlu dihapus secara khusus sesudah kelas kapitalis ditiadakan karena kapitalis sendiri sudah menghapus semua kelas, sehingga hanya tinggal proletariat. Itulah sebabnya revolusi sosialis tidak akan menghasilkan mesyarakat dengan kelas atas dan kelas bawah.
Marx mempergunakan istilah sosialisme dan komunisme dalam arti yang sama, yaitu keadaan masyarakat sesudah penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi. Langkah pertama adalah kediktatoran proletariat dan sosialisme negara, lalu sesudah kapitalisme dihancurkan, negara semakin kehilangan fungsinya. Sosialisme tercapai apabila tidak ada lagi sedangkan negara komunis yang dimaksud Marx adalah bahwa negara bukan hanya menghilang bahkan menjadi maha kuasa.
Teori Materialisme Historis
Dalam teori Materialisme Historisnya, Karl Marx menyatakan bahwa sistem kepemilikan adalah suatu keniscayaan dalam sistem sosial masyarakat. Dalam teori tersebut Karl Marx menyatakan bahwa perkembangan sistem sosial masyarakat berlangsung dalam lima tahap. Pertama tahap masyarakat komunal primitif yang belum mengenal sistem kepemilikan. Kedua, tahap pembagian kerja dan munculnya kepemilikan. Ketiga tahap terbentuknya masyarakat feodalisme. Keempat, tahap terbentuknya masyarakat kapitalime. Kelima, tahap akhir dari perkembangan sistem sosial masyarakat yakni sosialis-komunis.
Lima tahap perkembangan masyarakat tersebut merupakan penafsiran Karl Marx dari sudut ekonomi dalam relasi hubungan produksi dan kekuatan produksi yang tercermin dalam dinamika basis (infrastruktur) dan bangunan atas (suprastruktur). Menurut Karl Marx, di bawah sistem kepemilikan buruh-proletariat mengalami nasib yang tragis yang tercermin dalam eksploitasi dan Alienasi. Aksploitasi merupakan logika kapitalis dalam meningkatkan keuntungan atau modal. Indikasi akan hal ini adalah di tandai oleh sistem upah Subssitensi. Sedangkan alienasi (keterasingan) adalah bentuk ketidak berdanyaan buruh proletariat dalam mengontrol hasil produksinya.
Oleh karena itu satu satunya cara untuk mengatasi problem tersebut adalah dengan penghapusan kepemilikan, sebab bagi Karl Marx akar permasalahannya terletak dalam sistem kepemilikan tersebut. Penghapusan tersebut, selanjutnya Karl Marx menawarkan konsep kepemilikan bersama yang dioperasionalisasikan oleh kaidah “ from each according to his ability, to each according to his need”(setiap orang berdasarkan atas kemampuannya, dan bagi setiap orang berdasar atas kebutuhannya).
Teori Pembagian Kerja
Karl Marx menggambarkan revolusi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah revolusi yang dipelopori oleh golongan Borjuis yang hendak menghancurkan feodal. Setelah feodal runtuh ternyata tidak menyingkirkan antagonisme kelas itu, tetapi malah ia memunculkan kelas-kelas baru, kondisi baru untuk melakukan tekanan, bentuk-bentuk baru persaingan dengan menggantikan yang lama. Yaitu terbentuk dua kelas, kaum borjuis dan proletar. Kaum borjuis memiliki sarana-sarana kerja atau alat-alat produksi, sedangkan kaum proletar hanya memiliki tenaga kerja mereka sendiri. Oleh karena kelas-kelas pemilik begitu berkuasa. Misalnya para pemilik tanah mengontrol para buruh tani. Itu berarti bahwa para pemilik dapat menghisap tenaga kerja para pekerja, jadi mereka hidup dari penghisapan tenaga mereka yang harus bekerja. Kelas-kelas pemilik merupakan kelas-kelas atas dan kelas-kelas pekerja merupakan kelas-kelas bawah dalam masyarakat.
Tahap kedua adalah revolusi yang dilakukan oleh kelas pekerja dalam menghancurkan golongan borjuis. Dengan makin berkembangnya industri, para pemilik alat produksi semakin banyak menerapkan pembagian kerja dan memakai mesin sebagai pengganti buruh sehingga persaingan mendapat pekerjaan di kalangan buruh semakin bertambah jumlahnya. Kemudian ia berkumpul dalam kumpulan yang tambah besar, kekuatannya berkembang dan ia merasakan kekuatannya yang bertambah itupun mulai membentuk kombinasi (organisasi buruh) melawan borjuis. Di sana-sini pertentangan berkobar dan berkembang menjadi kerusuhan. Dan akhirnya terbentuk masyarakat komunis yang dicirikan penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi, menghilangnya negara, penghapusan pembagian kerja, penghapusan adanya kelas-kelas sosial, sehingga hanya tinggal proletariat. Itulah sebabnya revolusi sosialis tidak akan menghasilkan mesyarakat dengan kelas atas dan kelas bawah.
Perbedaan-perbedaan yang tercipta pada masyarakat modern membuat pembagian-pembagian dalam lapangan kerja. Lapangan pekerjaan dibagi menurut bakat dan minat masing-masing individu. Sehingga terjadi saling ketergantungan antar individu dalam memenuhi kebutuhannya. Diferensiasi sosial tersebut lama-lama berkembang menjadi stratifikasi sosial yang didasarkan pada kekayaan, kekuasaan, dan prestise. Kemudian tercipta kelas-kelas sosial seperti yang dijelaskan Karl Marx. Anggota masyarakat yang berada di golongan bawah berusaha memperoleh kekayaan dan kekuasaan. Sedangkan golongan atas berusaha mempertahankannya. Maka akan timbul konflik antar kelas.
Daftar Pustaka
Kusumandaru, Ken Budha. 2004. Karl Marx, Revolusi, dan Sosialisme. Yogyakarta: Resist Book
Dalam bukunya De la Division du Travail, Durkheim memusatkan pemikirannya pada pembagian kerja dan perbedaannya pada masyarakat kuno dengan masyarakat modern. Jenis masyarakat kuno memiliki ciri khas yaitu bersifat “mekanis”. Mereka dipersatukan menjadi masyarakat oleh kepercayaan yang sama, perasaan yang sama, dan tingkah laku yang sama. Tidak adanya pembagian kerja atau fungsi-fungsi yang berbeda pada masyarakat ini diakibatkan oleh peranan besar masyarakat yang menyeragamkan para anggotanya.
Masyarakat modern disatukan oleh suatu solidaritas yang bersifat "organis”. Di sini justru perbedaan antara anggota individual membuat mereka bermasyarakat. Mereka saling membutuhkan dan menjadi bergantung satu dengan yang lain. Bidang-bidang kehidupan yang dikuasai oleh kesadaran kolektif makin menyempit, sampai-sampai masyarakat tidak berhak untuk mencampuri urusan-urusan pribadi orang lain. Pergeseran tata nilai ini menyebabkan diferensiasi sosial.
Dalam masyarakat kuno, kedudukan dan pekerjaan semua anggota ditentukan oleh kolektivitas, sehingga mereka menghayati dan mendefinisikan hidup mereka dengan memakai kategori-kategori sosial, seperti agama, keluarga, desa, suku bangsa, dan sebagainya. Mereka tidak memutuskan atau membagi sesuatu hal di luar konteks sosial atau lepas dari itu.
Kesadaran yang mendasari masyarakat modern lebih berpangkal pada individu yang dilihat dari segi keunikannya yang tak tergantikan, yang menuntut berbagai lapangan kerja yang sesuai dengan bakat dan preferensi masing-masing anggota. Tentu masyarakat individualistis juga tidak akan dapat bertahan sebagai masyarakat kalau tidak ada kesadaran kolektif, tetapi kesadaran kolektif itu akan bercorak lebih abstrak dan universal.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.
Daftar Pustaka
Veeger, K.J. 1990. Realitas Sosial. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama